Kisah Pemantauan dengan Global Forest Watch: Muhammad Ichwan, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan Indonesia

21 Nov 2024|
Isabela Barriga and Inge Snip
Languages
THUMBNAIL_Muhammad_HORIZ-01
Languages
Category
  • Users In Action
Topics
  • indigenous peoples
  • Indonesia

Satu dekade yang lalu, peluncuran Global Forest Watch (GFW) mengantarkan era baru akuntabilitas dan transparansi dalam pemantauan dan perlindungan hutan dunia. Untuk merayakan 10 tahun dampaknya, seri Kisah Pemantauan dengan GFW (Voices of Global Forest Watch) akan menyoroti keberhasilan para pengguna, mitra, dan anggota komunitas GFW sepanjang tahun. Kami mengundang Anda untuk membaca, menonton, dan berbagi kisah-kisah para pemimpin luar biasa dalam pemantauan hutan yang memiliki peran penting dalam melindungi hutan di mana pun.    

“Hutan telah melindungi iklim planet kita, termasuk melindungi dari ancaman banjir dan erosi tanah. Hutan menyediakan sumber air untuk kebutuhan pokok, berbagai jenis makanan, dan oksigen. Pada intinya, [hutan] telah menyediakan segalanya untuk kita semua.” – Muhammad Ichwan, Direktur Eksekutif Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK)

Indonesia adalah rumah bagi kawasan hutan terbesar ketiga di dunia. Didirikan pada tahun 2010, JPIK merupakan organisasi terdepan dalam perjuangan melawan dan mengatasi deforestasi dan pembalakan liar di Indonesia, salah satunya dengan menggunakan perangkat GFW. Upaya mereka ini telah berlangsung selama bertahun-tahun dalam pemberdayaan masyarakat, pemanfaatan teknologi pendukung pemantauan, serta mengadvokasi pengelolaan hutan yang berkelanjutan. JPIK adalah jaringan organisasi masyarakat sipil di seluruh Indonesia, dari Papua hingga Aceh, yang pada awalnya merupakan perkumpulan untuk bersama-sama mengawasi penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di Indonesia.

Kayu bulat Meranti hasil pembalakan liar di Provinsi Kalimantan Tengah. Kredit: JPIK

JPIK telah berkembang menjadi jaringan nasional yang terdiri dari 26 kantor regional tersebar di seluruh Indonesia, dengan lebih dari 614 anggota individu dan 68 anggota lembaga. Seperti yang dijelaskan oleh Ichwan, mandat JPIK kini lebih dari sekedar memantau penebangan kayu; JPIK menggabungkan pelibatan masyarakat dengan advokasi kebijakan untuk menciptakan solusi jangka panjang guna mencegah hilangnya hutan dan degradasi lahan.

Perluasan ini membutuhkan peninjauan strategis terhadap kerangka kerja pemantauan yang digunakan oleh para pemantau independen, sehingga memungkinkan mereka untuk mendorong reformasi hukum dan kebijakan yang lebih efektif untuk menangani pembalakan liar dan melindungi hutan di Indonesia dengan lebih baik.

Penggunaan teknologi satelit, khususnya data GFW, telah meningkatkan kemampuan pemantauan hutan JPIK secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. 

“Penggunaan teknologi satelit saat ini cukup membantu kerja-kerja JPIK,” kata Ichwan. “Kami menggunakan teknologi ini sebagai dasar untuk melakukan pemantauan lapangan, dan sebagai data pendukung pengaduan – kepada penegak hukum, lembaga sertifikasi, dan pemerintah.”

Sebagai contoh, dalam sebuah kasus penting pada bulan Desember 2022, JPIK menggunakan data GFW untuk mengungkap kegiatan penebangan hutan ilegal di Kalimantan Tengah. Investigasi tersebut mengungkap adanya pemanenan kayu ramin – spesies yang tergolong Apendiks II atau sebagai spesies yang dilindungi dalam sistem CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) – secara ilegal. “Melalui aplikasi GFW, kami dapat melacak lokasi pembalakan liar dalam kawasan hutan lindung, distribusi kayu melalui sungai, hingga masuk ke perusahaan,” kata Ichwan. Dengan melacak perjalanan kayu tersebut, JPIK berhasil membongkar sebuah operasi yang bertujuan untuk menyamarkan kayu yang ditebang secara ilegal menjadi kayu legal. Temuan ini kemudian disampaikan kepada pihak berwenang di Indonesia, yang kemudian berujung pada tindakan hukum kepada para pelaku.

Keterlibatan masyarakat lokal, khususnya Masyarakat Adat, merupakan kunci keberhasilan JPIK. Hutan Indonesia sangat penting bagi mata pencaharian Masyarakat Adat dan masyarakat lokal, yang sering kali menanggung beban terbesar dari dampak deforestasi dan pengelolaan hutan yang buruk, menghadapi peningkatan resiko banjir, tanah longsor, dan bencana lingkungan lainnya. “Jika hutan rusak atau tata kelola hutan buruk, [masyarakat adat atau lokal] akan menjadi pihak yang paling terkena dampaknya,” kata Ichwan.

JPIK memberikan pelatihan kepada masyarakat mengenai pemantauan hutan secara mandiri dan penggunaan perangkat GFW. Menurut Ichwan, memberdayakan masyarakat adat dan komunitas lokal untuk memimpin pemantauan hutan secara mandiri merupakan salah satu strategi JPIK yang paling efektif. “Masyarakat adat atau masyarakat lokal adalah pelaku utama pemantauan independen karena mereka adalah pihak yang paling dekat dengan hutan sebagai penopang kehidupan mereka,” katanya.

Pelatihan tentang GFW dengan WRI Indonesia. Kredit: JPIK

Dalam kasus lain di Kalimantan Tengah, sekelompok masyarakat adat yang dilatih oleh JPIK membantu menghentikan pembalakan liar dalam kawasan lindung. Upaya mereka, termasuk melaporkan pelanggaran kepada penegak hukum, menghasilkan tindakan hukum yang signifikan: sanksi pidana, pencabutan sertifikasi SVLK dan denda bagi para pelaku, dan lain-lain.

Kedepannya, JPIK menyadari pentingnya melibatkan kaum muda Indonesia dalam pemantauan hutan. JPIK berencana untuk merekrut dan melatih ratusan anak muda – berusia 17 hingga 29 tahun – tentang prinsip-prinsip pengelolaan kehutanan berkelanjutan, serta menggunakan GFW dan advokasi hutan. Tujuannya untuk membekali generasi baru ini dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk mendokumentasikan, melaporkan, dan mengkampanyekan perlawanan terhadap pembalakan liar dan deforestasi, serta menggunakan platform media sosial seperti TikTok dan YouTube untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.

Generasi pemantau hutan independen berikutnya akan melanjutkan warisan JPIK dalam hal perlindungan hutan yang berbasis masyarakat dan didukung oleh teknologi. Menurut Ichwan, melanjutkan penggunaan GFW dalam pekerjaan ini adalah kuncinya: “GFW, bagi kami, sangat penting untuk mendukung pekerjaan kami dalam pemantauan hutan, untuk melawan ancaman deforestasi dan pembalakan liar di Indonesia.”


Video filmed at the Land & Carbon Lab Summit in June 2023.
Category
  • Users In Action
Topics
  • indigenous peoples
  • Indonesia

Explore More Articles

THUMBNAIL_Muhammad_HORIZ-01
Nov 21, 2024|Users In Action

Voices of Global Forest Watch: Muhammad Ichwan, Indonesia’s Forestry Independent Monitoring Network

As part of our Voices of GFW series, learn about Muhammad Ichwan’s work with Indonesia’s Forestry Independent Monitoring Network (JPIK).

Featured_Women Rangers of Damaran Baru_Credit HAkA
Oct 9, 2024|Users In Action

Women are Leading the Way to Protect Some of the World’s Most Important Forests

This blog spotlights stories of women leaders using GFW tools and data to protecting some of the world’s most important forests.

Serge Bondo OGF
Oct 7, 2024|Users In Action

Voices of Global Forest Watch: Serge Bondo Kayembe, Observatoire de la Gouvernance Forestière

As part of our Voices of Global Forest Watch series, learn about Serge Bondo Kayembe’s work with Observatoire de la Gouvernance Forestière.

Explore More Articles
THUMBNAIL_Muhammad_HORIZ-01
Nov 21, 2024|Users In Action

Voices of Global Forest Watch: Muhammad Ichwan, Indonesia’s Forestry Independent Monitoring Network

Featured_Women Rangers of Damaran Baru_Credit HAkA
Oct 9, 2024|Users In Action

Women are Leading the Way to Protect Some of the World’s Most Important Forests

Serge Bondo OGF
Oct 7, 2024|Users In Action

Voices of Global Forest Watch: Serge Bondo Kayembe, Observatoire de la Gouvernance Forestière

fetching comments...